DEMOKRASI PANCASILA DAN PEMILU: JALAN MORAL MENUJU KEDAULATAN RAKYAT
Demokrasi di Indonesia tidak lahir dari ruang kosong, melainkan tumbuh dari akar budaya bangsa yang menghargai musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial. Demokrasi yang kita jalankan bukanlah tiruan dari Barat yang menekankan kebebasan individual, melainkan sebuah sistem khas yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Dalam konteks ini, Pemilu bukan sekadar mekanisme memilih pemimpin, tetapi juga wahana moral dan ideologis untuk meneguhkan kedaulatan rakyat berdasarkan nilai kemanusiaan dan kebersamaan.
Soekarno dalam pidato Lahirnya Pancasila (1 Juni 1945) menegaskan bahwa demokrasi Indonesia haruslah “demokrasi gotong royong,” yakni demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pusat, bukan kepentingan elite atau golongan. Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh Notonagoro (1975) yang menyebut Demokrasi Pancasila sebagai “demokrasi bermoral,” sebab ia mengandung unsur tanggung jawab sosial dan spiritual yang menuntun perilaku politik ke arah keadilan. Artinya, dalam Demokrasi Pancasila, kekuasaan bukan alat dominasi, tetapi sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Pemilu menjadi cermin sejauh mana prinsip tersebut dijalankan. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 mencapai 83,06%, meningkat dari 81,97% pada 2019. Secara kuantitatif, angka ini membanggakan, namun secara kualitatif masih menyisakan pekerjaan besar: bagaimana partisipasi tersebut benar-benar mencerminkan kesadaran politik yang rasional, bukan sekadar rutinitas elektoral. Demokrasi tanpa kesadaran ideologis hanya akan melahirkan politik transaksional yang dangkal dan pragmatis.
Dalam praktiknya, demokrasi Indonesia masih dihadapkan pada tantangan serius. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) mencatat bahwa 45% responden percaya praktik politik uang masih sering terjadi. Sementara itu, polarisasi identitas dan penyebaran disinformasi di media sosial semakin menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga demokrasi. Fenomena ini mengindikasikan bahwa nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya diinternalisasi dalam perilaku politik masyarakat maupun elite.
Untuk meneguhkan Demokrasi Pancasila, diperlukan pendekatan kultural dan edukatif yang menanamkan kembali nilai moral dan ideologi bangsa. Pendidikan politik harus diarahkan bukan hanya untuk mengenalkan prosedur Pemilu, tetapi juga menumbuhkan kesadaran etis tentang tanggung jawab warga negara. Program pendidikan pemilih berkelanjutan yang dijalankan KPU, Bawaslu, dan Kesbangpol merupakan langkah penting, namun perlu diperkuat dengan kolaborasi perguruan tinggi, media, dan organisasi masyarakat sipil.
Partai politik juga memiliki tanggung jawab moral dalam menanamkan nilai Pancasila kepada kadernya. Politik harus kembali dimaknai sebagai pengabdian, bukan sekadar perebutan kekuasaan. Demokrasi tanpa etika akan kehilangan makna; ia menjadi prosedur kosong tanpa arah moral. Oleh karena itu, Demokrasi Pancasila harus terus dirawat melalui komitmen kolektif untuk mengembalikan politik ke jalan yang beradab.
Pemilu bukan hanya momentum lima tahunan, melainkan cermin sejauh mana bangsa ini memahami arti kedaulatan rakyat. Demokrasi Pancasila menuntut kita untuk tidak berhenti pada legitimasi suara, tetapi terus memperjuangkan legitimasi moral agar kekuasaan benar-benar berpihak kepada rakyat dan nilai kemanusiaan. Hanya dengan cara itu, demokrasi Indonesia akan tumbuh sebagai demokrasi yang bukan hanya prosedural, tetapi juga substantif: demokrasi yang berakar pada Pancasila dan berbuah pada kesejahteraan.