Opini

KEKUATAN POLITIK : REKRUTMEN DAN KEPEMIMPINAN

(Oleh: Ali Syaifa AS, S.IP) Kehadiran pemimpin selalu dibutuhkan oleh setiap kelompok masyarakat. Baik pada masyarakat yang paling primitif, maupun pada masyarakat yang paling modern sekalipun. Hal ini dikarenakan, di dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat muncul seribu macam persoalan untuk diselesaikan dan ada seribu macam keinginan untuk dapat diwujudkan. Oleh karena itu hadirnya pemimpin ditengah masyarakat menjadi penting dan dibutuhkan dalam rangkat mengatur, memimpin, dan mengkonsolidasikan segenap sumber daya (resources) yang ada ditengah masyarakat untuk mengurai dan memecahkan berbagai macam masalah serta dalam rangka mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dan harapan masyarakat. Beragam persoalan yang muncul  merupakan akibat dari interaksi manusia dengan sesama manusia maupun manusia berinteraksi dengan alam. Ada kecenderungan manusia pada dasarnya berwatak egois dan ingin menang sendiri. Latar belakang inilah terkadang yang membuat hubungan manusia (human relations) dengan manusia lainnya tidak berjalan secara baik dan setara. Terkadang yang kuat sewenang-wenang kepada yang lemah. Terkadang yang kaya menindas kepada yang miskin. Pada kasus ini kehadiran pemimpin menemukan relevansinya untuk mengambil peran mengatur kehidupan bermasyarakat agar tercipta kesetaraan, keadilan, kemaslahatan, dan kesejahteraan bersama. Begitu juga dalam relasi manusia dengan alam, seringkali manusia tidak memanfaatkan alam secara arif dan bijaksanan. Seringkali dikarenakan ambisi keduniawian manusia yang tinggi dan tidak mudah puas. Manusia mengeksploitasi alam dan mengakibatkan kerusakan parah pada alam dimana-mana. Pepohonan ditebang sesukanya sampai mengakibatkan hutan gundul. Sampai pada waktunya hujan lebat tiba terjadilah bencana longsor dan banjir dimana-mana. Itu secuil contoh yang menggambarkan malapetaka yang terjadi diakibatkan keserakahan dan kerakusan manusia didalam memanfaatkan alam ini. Oleh karena itu, seorang pemimpin menenemukan relevansinya kembali didalam mengatur masyarakat agar berinteraksi dengan alam secara arif dan bijaksanan sehingga tercipta keseimbangan dan keharmonisan. Dalam masyarakat yang semakin modern. Jika mengacu kepada pernyataan dari Samuel P. Huntington (1996) bahwa akhir dari persekutuan manusia adalah terbentuknya negara-bangsa (nation-state). Maka, dapat kita simpulkan bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang ada pada sebuah negara. Seperti halnya negara Indonesia ini, sosok pemimpin masyarakat tertinggi adalah pemimpin politik atau Pemerintahan. Karena politik adalah panglima dari aspek kehidupan manusia lainnya. Begitu menurut pandangan ilmuwan politik pertama Indonesia, Prof. Miriam Budiarjo (Budiarjo, 2007: 13). Solidaritas Masyarakat Keberhasilan seorang pemimpin politik diukur dari bagaimana ia dapat menciptakan persatuan di masyarakat. Sehingga masyarakat dapat merasakan kondisi keadilan, perasaan senasib dan sepenanggungan. Ibnu Khaldun (1332 M-1406 M), seorang filolosof muslim yang terkenal menggunakan istilah solidaritas (ashobiyah). Bahkan menurutnya sebuah komunitas masyarakat atau negara akan tetap ada dan tidak akan hancur tercerai berai apabila ada perasaan solidaritas pada setiap komponen masyarakat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa solidaritas adalah merupakan kekuatan politik. Kualitas pemimpin sangat dipengaruhi oleh cara ia memimpin masyarakatnya. Cara memimpin itu secara sederhana diartikan sebagai kepemimpinan. Kecakapan seorang pemimpin itulah kepemimpinan. Mengenai istilah kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, tingkat kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang (Syam, 2009: 187). Di dalam catatan sejarah bangsa ini, pernah terjadi protes yang dilakukan oleh masyarakat terhadap para penguasa politik atau pemerintah. Sekedar mengingatkan aksi demontrasi besar-besaran pada tahun 1998 adalah bentuk kekecewaan masyarakat Indonesia terhadap penguasa atau pemerintahnya dan berujung pada lengsernya penguasa dan menuntut pergantian sistem politik yang lebih bersih dan lebih baik. Hal itu menunjukan bahwa keruntuhan politik selalu diawali oleh hilangnya solidaritas masyarakat karena kehilangan kepercayaan pada pemimpinnya karena gagal dalam mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dan harapan masayarakat. Oleh karenanya, solidaritas atau perasaan senasib dan sepenanggungan dimasyarakat  tidak bisa dianggap enteng oleh seorang pemimpin politik. Karena ia sangat menentukan keberlangsungan dan eksistensi suatu negara. Bersama masyarakat pemimpin akan menjadi kuat. Pemimpin politik harus sungguh-sungguh membangun solidaritas dimasyarakat. Ada 2 (dua) jalan agar solidaritas masyarakat dapat tercipta dan terwujud. Pertama, Proses recrutmen pemimpin politik harus berjalan melalui proses kompetisi yang terbuka dan adil. Kedua, Kepemimpinan politik yang berkarakter dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Kita bersyukur bahwa di Indonesia, proses pengisian jabatan politik dilakukan melalui mekanisme dan recrutmen yang jelas. Jabatan politik adalah mereka yang menduduki jabatan puncak pada lembaga eksekutif, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Jabatan politik di rumpun eksekutif pada level nasional adalah Presiden dan Wakil Presiden. Sementara pada level daerah adalah Gubernur dan Wakil Gubernur dan Bupati atau Walikota beserta wakilnya. Mereka itu, sesuai regulasi yang mengaturnya dipilih melalui proses Pemilihan Umum (pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) yang dilaksanakn setiap 5 (lima) tahun sekali yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Ketentuan ini dapat ditemukan pada Undang-Undang Dasar  1945 pasal 22E. Jadi penting, sebuah kontestasi dan kompetisi di dalam Pemilu dan Pilkada dilaksanakan secara terbuka, fair, dan transparan. Hanya dengan cara itu, legitimasi politik dapat diwujudkan. Ingat, semakin tinggi tingkat legitimasi akan sangat mempengaruhi kulitas solidaritas di masyarakat. legitimasi yang rendah akan memicu perpecahan dan penolakan pada hasil pemilu dan pilkada serta lemahnya kepemimpinan politik. Proses kontestasi dan kompetisi didalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada sepenuhnya diatur dan dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai kewenangan yang dimilikinya yang diamanahkan oleh UUD 1945. Sejauh ini, mengacu kepada pelaksanan pemilu terakgir pada tahun 2019 dan Pilkada terahir pada 2020. Proses kontestasi dan kompetisi berjalan panas, sengit, dank keras. Namun, tetap sesuai dengan koridor aturan yang berlaku. Hasil Pemilu dan Pilkada dapat diterima oleh peserta pemilu dan masyarakat. Sehingga menghasilkan pemimpin politik yang memiliki legitimasi untuk menjalankan roda pemerintahan selama 5 (lima) tahun kedepan. Itu artinya separuh dari modal persatuan atau solidaritas masyarakat sudah dapat diwujudkan melalui proses politik yang baik dan sehat. Dalam Hal ini lembaga pemilu seperti KPU, BAWASLU, dan DKPP menjadi leading sektornya. Tinggal selanjutnya, separuh solidaritas lainnya menjadi tanggung jawab Pemimpin Politik terpilih untuk mengisi 5 (lima) tahun masa baktinya kedepan dengan program dan kebijakan publik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Seorang pemimpin politik harus memaknai kekuasaan yang diperolehnya sebagai barang amanat. Amanat yang ia peroleh dari masyarakatnya. Kesadaran etis ini penting diresapi  dan hayati oleh pemimpin politik agar tidak mengalami disorientasi didalam menggunakan kekuasaannya. Pemimpin politik harus ingat ada seribu satu persoalan dan seribu satu harapan di masyarakat. Beragam permasalahan pada masyarakat kota seperti kemacetan, kemiskinan, pendidikan, kriminalitas, dan sebagainya. Apalagi saat ini dunia sedang dilanda masalah kesehatan yakni pandemi covid-19. Maka, peran pemimpin politik sangat dinantikan dan diharapakan kehadirannya. Dalam upaya mengurai berbagai permasalahan di Masyarakat. Seorang pemimpin politik harus mempunyai kapasitas kepemimpinan politik. Kepemimpinan politik yang transformatif sangat dibutuhkan. Pemimpin politik menjadi tumpuan dan menjadi leading sektor dalam upaya mengatur dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Hanya dengan cara ini, kepercayaan publik akan tetap terjaga dan setengah solidaris politik selanjutnya dapat terwujud secara utuh dan menjadikan masyarakat semakin bersatu, kuat, dan makmur. ** Komisioner KPU KOTA BEKASI 2018-2023

REALITA BEBAN GANDA PEREMPUAN : APA KABAR PENGARUS-UTAMAAN GENDER ?

NURUL SUMARHENI Seiring perkembangan zaman, perempuan bekerja sudah menjadi hal yang biasa. Ruang lingkupnya pun semakin luas. Hampir tidak ada profesi yang tidak bisa diperani oleh perempuan. Namun demikian, kondisi ini tidak serta merta mencerminkan situasi  yang setara bagi perempuan dalam peran-peran sosialnya. Pada praktik pembagian peran dalam kehidupan rumah tangga atau yang disebut ranah domestik, perempuan kerap terpaksa tunduk kepada kontruksi sosio kultural patriarki. Pekerjaan kerumahtanggaan, termasuk pengasuhan anak, secara kultural dianggap sebagai  bagian dari tanggungjawab perempuan. Tidak peduli apakah ia juga bekerja di luar rumah dan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi keluarga atau tidak. Berbeda dengan laki-laki yang bekerja, secara kultural dia tidak dibebani dengan urusan-urusan  domestik. Kacamata patriarki memang membagi secara tegas  peran gender berdasarkan pada jenis kelamin. Semua hal yang terkait urusan di dalam rumah dilabeli sebagai ranah atau area domestik. Sedangkan semua hal yang dilakukan di luar rumah dalam peran sosial , termasuk untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (bekerja) disebut area publik. Ranah domestik dianggap sebagai bagian perempuan dan ranah publik dianggap sebagai wilayah laki-laki. Peran ganda (dual role) dan beban ganda (double burden) dilekatkan pada perempuan bekerja, manakala keluarga dan lingkungan sosial belum memiliki kesadaran akan kesetaraan gender (gender equality). Pada satu sisi, perempuan dituntut untuk menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya dalam pekerjaan di ranah publik, dan di sisi lain perempuan harus mampu menjamin bahwa urusan domestik yang dibebankan kepadanya juga terselesaikan dengan baik. Tanggung jawab di ranah domestik yang sebenarnya bisa dipertukarkan, didistribusikan atau dibagi secara adil, seringkali dianggap hanya sebagai tanggungjawab perempuan dan hal itu diamini sebagai kewajaran kultural. Bahkan banyak di antara perempuan bekerja, masih menganggap bahwa beban ganda adalah kewajiban yang natural untuk disandang. Padahal beban ganda adalah warisan kultur patriarki. Dalam berbagai studi dan diskusi, mencuat fakta bahwa persoalan peran dan beban ganda perempuan semakin mengental di masa pandemi Covid-19. Kebijakan Pembatasan Sosial  Berskala Besar (PSBB) di awal pandemi sampai dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro yang masih berlangsung saat ini menambah beban perempuan. Apakah bekerja dari kantor (work from home) atau bekerja dari rumah (work from home), perempuan dihadapkan pada beban pengasuhan anak, pendampingan belajar anak yang belajar di rumah dan tugas-tugas domestik lainnya. Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Woro Srihastuti menyatakan bahwa perempuan lebih rentan mengalami beban ganda pada masa pandemi Covid-19 jika dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun jumlah laki-laki yang meninggal karena Covid-19 lebih banyak dibandingkan perempuan, tetapi dampak kesehatan mental lebih besar dirasakan oleh perempuan, yaitu 57 persen dan laki-laki 48 persen. Pendidikan jarak jauh juga meningkatkan intensitas kerja tak terbayar dan menurunkan partisipasi perempuan dalam pekerjaan berbayar. Sebanyak 39 persen dari perempuan yang bekerja memiliki setidaknya satu anak usia Sekolah Dasar. Tak hanya dari sisi kesehatan dan mental, secara ekonomi perempuan juga lebih dirugikan dengan adanya pandemi Covid-19. Menurut data Bappenas, perempuan mengalami penurunan pendapatan hingga 72 persen dibanding laki-laki yang hanya 56 persen. Realita peran dan beban ganda perempuan yang semakin parah terjadi di masa pandemi Covid-19 ini tentunya membutuhkan tindakan afirmatif yang lebih serius dalam implementasinya. Sejauh ini, bentuk intervensi pemerintah dalam mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan gender (KKG) adalah dengan membentuk suatu kebijakan  strategi Pengarusutamaan Gender disingkat menjadi PUG (Gender Mainstreaming). Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah suatu strategi untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender (KKG) melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. PUG tidak hanya mendorong kepemimpinan perempuan untuk lebih responsif gender, tetapi juga kepemimpinan laki-laki dalam memberdayakan perempuan dan meningkatkan kesetaraan gender. Pemerintah menerbitkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan yang mewajibkan seluruh departemen maupun lembaga pemerintah non departemen di pusat dan di daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender dalam kebijakan dan program yang berada di bawah tugas dan tanggung jawab masing-masing. Pengarusutamaan gender dilakukan dalam seluruh rangkaian kegiatan pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantuan, hingga evaluasi. Alur Kerja Analisis Gender, dalam perencanaan yang responsif gender, terdapat tiga tahap utama, yaitu: 1) melakukan analisis kebijakan gender, 2) memformulasi kebijakan yang responsif gender, dan 3) menyusun rencana aksi kebijakan/program/proyek/kegiatan yang responsif gender. Dengan massifnya penerapan PUG melalui instansi pemerintahan, diharapkan kondisi kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dapat tercapai dan dengan sendirinya problem peran dan beban ganda  perempuan dapat teratasi. Namun faktanya, PUG masih berada dalam taraf teori dan seremonial institusi belaka. Memang selalu ada laporan dan evaluasi pelaksanaan PUG di setiap instansi pemerintah secara berkala, tetapi bila melihat realita yang berkembang di masayarakat, di mana perempuan masih mengalami kerentanan atas peran dan beban ganda, maka layak dinyatakan bahwa PUG belum optimal dilaksanakan dan belum membuahkan kondisi ideal seperti yang diharapkan. Dalam buku Pembangunan Manusia Berbasis Gender tahun 2020 yang dipublikasikan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak , terungkap bahwa masih ada kesenjangan yang cukup tajam antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) laki-laki dan IPM perempuan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2019, IPM Indonesia telah mencapai nilai 71,92 atau kategori tinggi. Capaian Indonesia pada IPM tahun 2019 ini mendudukkan Indonesia pada peringkat 107 dari 189 negara dan wilayah. Di tingkat ASEAN, Indonesia masih berada pada peringkat ke-6 dari 10 negara di ASEAN. Jika dipilah berdasarkan jenis kelamin, nilai IPM ini masih menunjukkan kesenjangan pada perempuan, karena IPM perempuan masih tertinggal dibanding laki-laki. Tahun 2019, IPM perempuan masih berstatus sedang dengan nilai IPM 69,18, tertinggal jauh dengan laki-laki yang telah mencapai nilai IPM 75,96. Indeks Pembangunan Gender (IPG) merupakan indeks pencapaian pembangunan manusia yang menggunakan indikator yang sama dengan IPM, yaitu 1) umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life) 2) pengetahuan (knowledge); dan 3) standar hidup layak (decent standard of living). Perbedaan antara IPM dan IPG merujuk pada upaya unuk melihat dan mengungkapkan ketimpangan gender dalam pembangunan. IPG menganalisis dengan menggunakan ratio IPM menurut jenis kelamin sehingga hasil IPG dapat digunakan untuk mengetahui kesenjangan pembangunan manusia antara laki-laki dan perempuan. Nilai IPG berkisar antara 0-100 (Badan Pusat Statistik, 2020). dan menunjukkan ketimpangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki dengan interpretasi bahwa ketika angka IPG makin mendekati 100, maka ketimpangan pembangunan gender semakin rendah. Pemaknaan sebaliknya dapat dilakukan dengan semakin menjauhnya nilai IPG dari angka 100, maka semakin lebar ketimpangan pembangunan gender menurut jenis kelamin. Tahun 2019, IPG Indonesia telah mencapai angka 91,07 persen. Capaian ini meningkat sebanyak 0,08 poin dibandingkan tahun 2018. Hampir separuh provinsi di Indonesia IPG di bawah angka 90. Provinsi dengan capaian IPG terendah terjadi di Provinsi Papua 80,05 dan Papua Barat 82,74. Beberapa provinsi juga sudah mencapai IPG pada rentang nilai 85-90. Untuk Gender Development Index (GDI), penghitungan dilakukan untuk 167 negara. Dalam laporan UNDP tahun 2020, capaian nilai GDI Indonesia adalah 0,940 yang diperoleh berdasarkan nilai HDI perempuan 0,694 dan HDI laki-laki 0,738. Nilai GDI Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara-negara di Asia Timur dan negara HDI yang berkatageri “tinggi” yang memiliki nilai rata-rata 0,961. Capaian GDI Indonesia di tahun 2019 menempatkan Indonesia berada dalam kelompok GDI ketiga, setingkat dengan China yang memperoleh GDI 0,957. Meskipun China berada pada tingkat kelompok yang sama dengan Indonesia, namun HDI perempuan di China sudah berada di angka 0,744, sedangkan HDI perempuan Indonesia masih berada di angka 0,694. Capaian HDI perempuan Indonesia berada paling rendah dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga, yaitu Malaysia, Brunai Darussalam, Filipina, Singapura, dan Thailand. HDI perempuan dari lima negara tetangga sudah mencapai angka di atas 0,700, bahkan Brunai Darussalam mencapai 0.830 dan Singapura mencapai 0,931. Hal ini menunjukkan urgensi pembangunan perempuan di Indonesia tetap menjadi prioritas agar meningkatkan kualitas pembangunan perempuan dan daya saing diantara negara-negara tetangga. Program PUG harus terus dilaksanakan secara lebih simultan dengan memaksimalkan keterlibatan elemen-elemen masyarakat sampai ke grass root. Mengapa? Karena problem ketimpangan gender yang memicu terjadinya peran dan beban ganda perempuan, sesungguhnya adalah problem yang bersumber dari  masalah kultural. Budaya patriarki yang sudah terlanjur berurat dan berakar di masyarakat sampai menjadi DNA masyarakat itu. Dalam penelusuran Gerda Lerner (1986) peradaban sejarah manusia setidaknya bisa dilacak dari kehidupan pertanian zaman neolitikum di Mesir kuno, lembah-lembah sungai di Tiongkok kuno, kemudian di India dan Amerika Tengah, Eropa Utara bahkan hingga ke Malaysia. Dalam temuan Lerner tersebut, adanya hierarki dan juga kelas pada lembaga-lembaga militer, perbudakan, kepala suku hingga pada produksi dan spesisalisasi kerja di mana jejak patriarki yaitu dominasi pria pada perempuan menguat. Jejak sejarah yang panjang inilah yang kemudian dianggap seolah-olah pembagian peran antara laki-laki dan perempuan itu secara natural berbeda. Merubah budaya yang sudah berabad-abad mengakar secara global tentu bukan tanggung jawab mudah. Namun bila kita menginginkan relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan di seluruh lini kehidupan dapat terwujud, maka menjadi sebuah tugas mulia untuk terus menguatkan pemahaman kolektif mengenai kesetaraan gender. Baik laki-laki maupun perempuan harus sama-sama memahami dan menghayati bahwa hak serta tanggung jawab sebagai manusia tidak  mutlak ditentukan oleh jenis kelamin biologis. Hak dan tanggung jawab  dapat dipertukarkan dan dinegosiasikan berdasarkan potensi, kompetensi, situasi dan kondisi yang melingkupi dalam bentuk-bentuk relasi yang terjalin antara laki-laki dan perempuan itu sendiri.

NAWAL EL SAADAWI DAN DEMOKRASI ELEKTORAL SETARA

Pada hari Minggu, 21 Maret 2021, pada saat saya di bandara (airport) jelang boarding, saya terkejut ketika membaca berita tentang wafatnya mantan dokter Nawal el Saadawi di usia 89 tahun. Tentunya dunia, lebih mengenal sang dokter tersebut sebagai pemikir prolifik feminisme modern. Keterkejutan saya tersebut dilandasi karena saya sebagai seorang pembelajar feminisme. El Saadawi bisa dilabeli sebagai pemikir besar abad 20. Oleh karena itu, saya pernah membaca pemikiran beliau yang sangat kontroversial tidak hanya bagi Mesir ataupun dunia Arab, tetapi juga dunia internasional. Sebagai pejuang HAM, khususnya pejuang kesetaraan/keadilan perempuan, Nawal el Saadawi tentunya adalah sebagai pribadi yang sangat menginspirasi perempuan dunia, terlebih khusus para perempuan di tanah yang air tak terkecuali di Jawa Barat bahkan juga aktivis lelaki juga yang memiliki semangat gender mainstreaming. Walaupun el Saadawi seorang dokter, tetapi beliau memiliki daya juang yang sangat luar biasa untuk mewujudkan gagasan keadilan untuk perempuan. El Saadawi rela mengorbankan karir pofesionalnya sebagai seorang dokter atau tepatnya rela menanggung resiko pemberhentian dari jabatan sebagai Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir pada tahun 1972, akibat el Saadawi menulis buku non-fiksi pertamanya yaitu dengan judul Woman and Sex. Di tanah air sepertinya buku ini tidak sepopuler buku fiksi el Saadawi yang berjudul Woman et Point Zero. Dengan terbitnya buku non-fiksi Woman and Sex tersebut dan buku-buku lanjutan dari buku tersebut, El Saadawi dijuluki sebagai Simone de Beauvoir dari dunia Arab. Rekan-rekan pasti dengan baik dapat memahami siapa pribadi dan pemikiran Simone de Beauvoir tersebut yaitu sang tokoh feminisme modern dan ahli filsafat Prancis adab ek-20. Simone de Beauvoir pada tahun 1949 pernah menerbitkan buku The Second Sex. Buku itulah yang menginspirasi El Saadawi menulis buku Woman and Sex. Bukunya de Beauvoir tersebut menjelaskan pandangan historis tentang posisi yang tidak menguntungkan perempuan di masyarakat (women’s disadvantaged position in society). Berangkat dari pandangan historis tersebut, de Beauvoir mencoba memberikan pandangan alternatif tentang bagaimana seharusnya perempuan diperlakukan melakui upaya dekonstruksi budaya. Saking dipandangan sangat mengancam kekuasaan, buku Woman and Sex El Saadawi tersebut pernah dilarang beredar di publik oleh Pemerintah Mesir selama hampir dua dekade sejak diterbitkan tahun 1972. Alasannya karena buku tersebut menciptakan antagonisme terhadap otoritas teologi dan politik tertinggi di Mesir. Melalui buku tersebut, El Saadawi juga menarasikan perjuangan terhadap eksploitasi tubuh perempuan, termasuk menentang sunat bagi perempuan. Itulah kenapa El Saadawi dikenal sebagai pejuang FGM (Female Genital Mutilation). Tentunya perjuangan itu berdasarkan pengalaman empiris El Saadawi pada saat berusia 6 tahun sebagai korban praktik sunat perempuan. Buku Woman and Sex (1976) tersebut kemudian menginspirasi El Saadawi menulis buku yang berjudul The Hidden Face of Eve: Women in The Arab World (1976). Sebuah buku yang mengisahkan penglamannya dan kakaknya disunat dengan paksa di kamar mandi rumahnya. El Saadawi menjelaskan pengalamannya yang sangat menyakitkan tidak hanya persoalan tangisan dan teriakannya yang tak digubris oleh sejumlah oranng yang tak dikenal pada saat ia disunat, tetapi ada yang lebih menyakitkan yaitu ketika ibunya tersenyum pada saat ia disunat yang menjadi tanda ibunya setuju ia disunat. Melalui beragam buku fiksi dan non-fiksi, pada akhirnya, El saadawi dikenal sebagai feminis sekular sangat radikal dari Mesir (Egypt’s most radical secularist feminist woman) yang memantik datangnya kritik politik ataupun intelektual dari beragam pihak, tidak hanya penguasa, tetapi juga pemikir atau penulis. Di antara penulis yang terkenal yang mengkritik pemikiran el Saadawi tersebut adalah George Tarabishi yang menulis buku Woman Against Her Sex. Tarabisihi dalam menulis buku tersebut menggunakan pendekatan analisis Freudian atau berbasiskan pada psikoanalisa. Rekan-rekan pasti dengan baik dapat memahami siapa pribadi dan pemikiran Simone de Beauvoir tersebut yaitu sang tokoh feminisme modern dan ahli filsafat Prancis adab ek-20. Simone de Beauvoir pada tahun 1949 pernah menerbitkan buku The Second Sex. Buku itulah yang menginspirasi el Saadawi menulis buku Woman and Sex tersebut. Sebenarnya buku Woman and Sex bukanlah buku yang pertama baginya, el Saadawi pernah menulis novel klasik dengan judul Memoirs of a Woman Doctor yang terbit pada 1958. Melalui novel tersebut, el Saadawi mengisahkan seorang gadis mesir yang bercita-cita menjadi dokter, tetapi menghadapi rintangan besar dimana kehidupan sosial di Mesir yang menyulitkan seorang perempuan berkarier di tengah kehidupan ekonomi yang sulit. Semoga dengan membaca ulang buku Memoirs of a Woman Doctor tersebut, rekan-rekan dapat terinspirasi menulis buku dengan judul misalnya Memoirs of a Woman Election Commisioner, sebuah buku yang mengisahkan bagaimana seorang komisioner perempuan penyelenggara pemilu membuktikan kehebatan political and organizational leadership dalam menyelenggarakan pemilu yang inklusif, atau pemilu yang berorientasi atau berbasis pada keadilan gender. Selanjutnya dalam novel Woman at Point Zero yang terbit pada tahun 1975, el Saadawi mengisahkan lika-liku seorang pelacur (a sex worker) di Kota Kairo bernama Firdaus. Pekerja seks tersebut dinarasikan sempat merasakan dinginnya tembok penjara mesir dan hidup di tengah-tengah budaya patriaki di Timur Tengah. Melalui penokohan utama Firdaus dalam novel tersebut, el Saadawi membuka mata publik tentang keboborokan sistem pemerintahan dan ketimpangan sosial di Mesir. Kontekstualisasi Pemikiran El Saadawi dalam Demokrasi Elektoral Tentunya pada kesempatan ini kita tidak sedang melakukan content analysis (analisis) atas beragam buku-buku yang ditulis oleh El Saadawi, tetapi bagaimana pemikiran El Saadawi sang tokoh feminis modern diaktualisasikan dalam konteks demokrasi elektoral di tanah air, khususnya di Jawa Barat. Kita semua tahu banyak kritik atas praktek demokrasi elektoral kita tidak hanya pada persoalan terjebak dalam formalisme (atau lebih dikenal sebagai proseduralisme), tetapi juga inklusivisme khususnya persoalan kesadaran gender baik para kontestan elektoral ataupun pemilih itu sendiri. Semoga dengan kita memperingati kematian El Saadawi, kita dapat menghidupkan kembali perjuangan kita untuk mewujudkan budaya politik setara melalui proses sosialisasi dan pendidikan pemilih baik pada masa tahapan pemilu/pemilihan ataupun pasca tahapan tersebut. Tantangan mewujdukan dan mengembangkan budaya politik setara tersebut tidak hanya datang dari lelaki saja, tetapi juga dari perempuan itu sendiri. Masih banyak perempuan yang menikmati atau nyaman hidup dalam budaya patriaki. Ini artinya gerakan budaya politik setara dalam demokrasi elektoral harus dilakukan secara bersama oleh perempuan dan lelaki. Perjuangan bersama tersebut bersifat imperatif bagi kita semua, khususnya para penyelenggara pemilu/pemilihan yang harus menjadi pelopor gerakan budaya politik setara. Semoga dengan gerakan tersebut, para legislator perempuan dapat semakin yakin dan bersemangat dalam memperjuangankan kepentingan perempuan dalam proses legislasi di lembaga perwakilan. Begitu juga dengan kepala daerah hasil pemilihan dapat melakukan hal yang sama. Sebenarnya tidak sekedar hal tersebut di atas, kini adalah saat yang tepat bagi kita semua untuk melakukan gender mainstreaming (pengarusutaman gender) di tengah partai politik kini sedang mulai melakukan pemanasan persiapan penjaringan bakal calon legislatif yang akan dicalonkan untuk Pemilu Serentak 2024 nanti. Semoga fungsionaris partai politik juga dapat mengkaji pemikiran El Saadawi sebagai mata air pencerahan dalam mewujudkan kandidasi setara gender sehingga outputnya nanti ada peningkatan signifikan atas keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Tapi tentunya tidak hanya di lembaga legislatif, dikarenakan tahun 2024 juga akan digelar Pemilihan Serentak Nasional, jadi diharapkan partai politik dapat memiliki orientasi kandidasi setara dalam pemilihan (pilkada) dimana di setiap pasangan bakal calon terdapat perempuan baik kapasitasnya sebagai bakal calon kepala daerah ataupun wakilnya. Kandidasai berorientasi gender selama ini di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, masih sangat kurang sekali, walaupun tidak ada ketentuan tindakan afirmatif. Oleh karena itu, budaya politik setara harus jadi komitmen kita semua demi terwujudkan keadilan gender dalam pemilu/pemilihan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.  

INSPIRASI TINDAKAN POLITIK

Ali Syaefa A.S Komisioner KPU Kota Bekasi 2018-2023 Salah satu tujuan berdirinya negara bangsa (nation state) di manapun berada adalah dalam rangka mensejahterkan masyarakatnya. Hal itu pun berlaku bagi negara Indonesia yang pada 17 Agustus tahun 2021 ini memperingati ulang tahun kemerdekaannya  yang ke-76 tahun. Berhasil lepas dari belenggu penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa asing sebelumnya. Sebagaimana yang digambarkan oleh Bung Karno bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia adalah jembatan emas untuk meningkatan kesejahteraan rakyatnya. Didalamnya meningkatkan kesehatan, pendidikan, ekonominya, dan aspek kehidupan masyarakat lainnya. Oleh karenanya, kemerdekaan ini harus kita syukuri sebagai bagian nikmat dan karunia dari Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Penegasan normatif dan legal akan tujuan dibentuknya negara tertuang di dalam mukadimah pembukaan Undang-Undang Dasar (1945) di sana disebutkan bahwa “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasrkan kehidupan bangs…dst”. Jadi, jelaslah tidak ada alasan yang paling mendasar membentuk suatu pemerintahan kalau tidak untuk mensejahterakan masyarakatnya. Kemerdekaan yang diperoleh oleh bangsa Indonesia merupakan perjuangan semua pihak dari elemen atau komponen masyarakat yang anti penjajahan dan anti penindasan yang dilakukan oleh bangsa penjajah terhadap bangsa Indonesia. Tercatat ada beberapa bangsa Eropa yang pernah menjajah kita diantaranya Portugis, Inggris, dan Belanda. Juga ada bangsa asia yang penah menjajah, yaitu Mongol dan Jepang. Komponen masyarakat itu terdiri dari latar belakang agama, suku, kelas sosial yang berbeda-beda dan beraneka ragam. Akan tetapi memiliki satu kesamaan nasib yang sepenanggungan. Sehingga, bersatu dan berjuang bersama. Jadi, sangat mengingkari sejarah ‘ahistoris’ ketika ada salah satu elemen masyarakat yang merasa paling berjasa dalam proses perjuangan kemerdekaan dan menihilkan kontribusi elemen masyarakat lainnya. Maka, toleransi dan saling menghargai ada manifestasi dari sikap yang sangat bijaksana. Kesadaran Politik Sifat anti penjajahan dan anti penindasan adalah bentuk kesadaran masyarakat yang berdampak pada sebuah bentuk tindakan sosial masyarakat untuk mau melawan kesewenang-kesewenangan bangsa asing yang telah membuat kesengsaraan pada masyarakat Indonesia. Tumbuhnya kesadaran individual (individual awareness) dan kesadaran sosial (social awarenenss) membuka jalan bangsa ini menuju perubahan dan perbaikan nasib yang lebih baik. Kesadaran Individual dan Kesadaran sosial akan perlunya menjadi bangsa yang merdeka tidak hanya diaktivasi oleh satu keadaan kesusahan dan kesengsaraan yang dialami oleh masyarakat sebagai bentuk akibat dari penjajahan. Akan tetapi, kesadaran itu juga di inspirasi oleh ajaran moral dan etika yang terkandung pada agama-agama (regious) dan kearifan lokal (local wisdom) bangsa ini yang hidup dan bersemayam dalam adat dan istiadat masyarakat. Misalnya saja, dalam kearifan dan ajaran masyarakat jawa secara turun temurun diajarkan konsep hidup “Memayu hayuning bawono, Ambrasto dur hangkoro”. Konsep tersebut menekankan manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, kesejahteraan dan memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak. Jelas bahwa praktek eksploitasi alam dan kesewenang-wenangan yang dilakukan bangsa penjajah tidak sejalan dengan nilai dan cara hidup bangsa Indonesia dalam perspektif melihat alam dan lingkungan. Contoh lainnya yang meninspirasi kesadaran anti penjajahan dan penindasan adalah nilai moral yang terkandung pada ajaran agama Islam. Dalam Islam kehormatan manusia dijunjung tinggi. Inilah mengapa praktek perbudakan di tempat asalnya agama Islam lahir, yakni tanah arab secara perlahan di hilangkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tidak lain, karena perbudakan merendahkan harkat dan martabat manusia. Oleh karenanya ketika praktek penjajahan berlangsung di Indonesia masyarakat muslim dan para alim ulama bersatu menolak dan melawan praktek penjajahan. Kedua contoh diatas paling tidak bisa menegaskan bahwa kesadaran pentingnya menjadi bangsa yang merdeka salah satunya terinspirasi dari nilai moral yang terkandung pada ajaran agama dan nilai-nilai luhur yang hidup pada adat istiadat masyarakat Indonesia. Jadi, sebenarnya banyak sekali inspirasi kebaikan yang dapat diambil dari ajaran agama dan kearifan lokal yang dapat meningkatkan perubahan masyarakat kearah yang lebih baik. Marx Weber (1864-1920), seorang sosiolog kenamaan dari Jerman pernah merilis hasil penelitiannya melalui tulisannya Protestan Etic and Spirit Kapitalism. Ia menyimpulkan bahwa Semangat agama Protestanlah yang telah mendasari negara barat dalam membangun kapitalisme. Dalam bahasa lain, tidak tepat kalau dikatakan bahwa peradaban barat dibangun diatas reruntuhhan nilai-nilai agama. Justru nilai agama itulah yang menjadi pondasi peradaban barat yang sebenaranya Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa banyak sekali nilai-nilai moral dan kebaikan yang melimpah ruah pada ajaran agama dan kearifan lokal yang ada dalam adat istiadat dan budaya masyakat Indonesia yang hatus digali dan diaktualisasikan di dalam sebuah tindakan Indivudu dan tindakan sosial untuk membawa bangsa Ini semakin sejahtera dan maju. Terutama, penggalian dan pengaktualisasian nilai-nilai moral dan kebaikan yang terkandung dalam ajaran agama dan kearifan lokal oleh para aktor negara (state actor), baik kepala pemerintahan, anggota legislatif, aparat sipil negara, militer, polisi, dan birokrasi lainnya. Agar dapat mengaktualisasikannya dalam bentuk tindakan politik yang dapat membawa kebaikan, kesejahteraan, dan kemaslahatan pada masyarakat dalam rangka mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia. Bukan sebaliknya, berbuat dan mengaktulisasikan tindakan politik yang merugikan masyakatat seperti korupsi, oligarki politik, dan dinasti politik.